Muhammad Lutfhi; Dari Parlemen Jalanan Menuju Senayan

Perjuangan butuh konsistensi. Melaui jalur apapun, tujuannya harus tetap sama yaitu mewujudkan keadilan, kedaulatan dan kesejahteraan rakyat. Maka, setelah matang di parlemen jalanan, Muhammad Luthfi memilih menuju Senayan.

Bagi dunia gerakan mahasiswa, nama Muhammad Luthfi tidaklah terdengar asing. Mantan aktifis Forum Kota (FORKOT) ini adalah bagian penting dari pelaku sejarah tumbangnya rezim Orde Baru –sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto– yang ditandai dengan turunnya Soeharto dari kursi presiden RI pada tanggal 21 Mei 1998. Saat ditemui di kawasan perumahan Kalibata Indah, Bang Lutfhi, demikan ia akrab disapa, bercerita banyak kepada POLEMIK tentang dinamika gerakan mahasiswa saat itu.

Keterlibatannya sebagai aktifis gerakan mahasiswa didasari atas keprihatinannya terhadap kondisi mahasiswa yang selalu dipasung dalam kungkungan rezim pemerintahan yang tertutup dan otoriter. Mahasiswa tidak diberikan ruang gerak untuk melakukan aktivitas politik baik di kampus maupun di masyarakat. Kelompok-kelompok kritis hanya mampu memberi pencerahan bagi anggotanya masing-masing dan harus selesai hanya sebatas diskusi.

“Para aktifis seringkali ditangkap ketika melakukan diskusi atau hanya sekedar membawa ‘buku merah’. Kita juga sering diteror setiap kali melakukan demontrasi. Benar-benar tidak ada ruang yang memberikan pilihan-pilihan kepada aktifis, apalagi sikap kritis terhadap kebijakan pemeritah,” kenang sosok yang mulai bergabung di dunia gerakan mahasiswa sejak tahun 1992 melalui kelompok kajian 164 ini.

Bulan Mei 1998 bisa dianggap sebagai sejarah keberhasilan gerakan mahasiswa dalam meruntuhkan orde baru dan melahirkan era reformasi. Tetapi bagi Luthfi, tumbangnya rezim orde baru hanyalah babak awal bagi suatu perubahan iklim politik di Indonesia. Yang terpenting adalah mahasiswa harus mampu mengawal agenda-agenda politik dan ekonomi yang bertujuan untuk melahirkan keadilan, kedaulatan dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.

Keberhasilan sebuah gerakan mahasiswa tidak hanya dilihat dari tumbangnya sebuah rezim, melainkan kemampuan mengisi dan mengawal agenda-agenda yang diperjuangkan di era reformasi ini. Fase ini membuat pilihan-pilihan bagi kalangan aktivis. Ada yang memposisikan diri masuk pada ranah sirkulasi dan permainan elit politik kekuasaan dan ada juga memilih terlibat di partai politik seperti dirinya yang kini aktif di Partai Golkar. Juga, seperti Budiman Sujatmiko (PDIP), Pius (Partai Gerindra), dan Yusuf Lakaseng (PBR).

Menuju Senayan

Senyum mengembang dari bibir Muhammad Lutfi saat mengetahui perolehan suaranya dalam pemilihan umum legislatif, April lalu, selalu bertengger di posisi tiga sampai lima besar perolehan suara di daerah pemilihannya. Calon anggota legislatif (caleg) DPR RI dari Partai Golkar ini akhirnya ditetapkan sebagai caleg terpilih dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat. Inilah buah dari kesungguhan dan perjuangannya selama bertahun-tahun melakukan pembinaan di tengah-tengah masyarakat.

Banyak kalangan yang tidak menyangka jika dirinya akan terpilih, lebih-lebih dengan perolehan suara yang sangat signifikan yaitu 57.843 suara. Maklum, selain memiliki pesaing-pesaing berat sekelas Hamdan Zoelfa (PBB), Fahri Hamzah (PKS), dan tokoh-tokoh lokal lainnya, ia juga telah lama meninggalkan tanah kelahirannya itu yaitu sejak berusia 2 tahun. Orang tak menyangka bahwa ia mempunyai pemilih panatik yang senantiasa dibina sejak kekalahannya pada Pemilu 2004 lantaran penetapan caleg terpilih masih dengan sistim nomor urut.

Memang, Luthfi menyadari betul bahwa sistem pemilu 2009 membuang banyak energi bagi para caleg. Dan bagi mantan aktifis seperti dirinya, sistem pemilu kali ini menjadi tantangan tersendiri. Aktifis seringkali hanya mampu menggerakkan kelompok terdidik dan jarang bersinggungan langsung dengan masyarakat. Aktifis terkadang hanya sebagi menara gading –berdiri di puncak, tidak melihat ke bawah–, tidak pernah mendekatkan diri dengan masyarakat.

Tidak demikian dengan Luthfi. Meskipun hampir seluruh anggota keluarganya menetap di Jakarta, setidaknya hampir setiap tiga bulan sekali, ia pulang menyambangi kampung halamannya. Hasilnya, ia semakin dekat dengan konstituen dan tentu saja, popularitasnya sebagai tokoh gerakan mahasiswa terdengar pula hingga di telinga kalangan aktifis mahasiswa di NTB dari generasi ke generasi.

Hanya satu keinginannya, sebagai putra daerah, ia harus bisa berbuat demi perubahan daerahnya. Ia sangat menyadari kebutuhan masyarakat yang kebanyakan tinggal di daerah pedalaman. Mereka hanya menginginkan terpenuhinya kebutuhan pokok, menikmati pasilitas negara, dan mendapatkan pekerjaan.

“Sesungguhnya tuntutan masyarakat di tingkat daerah terutama kawasan pedalaman sangatlah sederhana, yaitu bagaimana mengalami perbaikan dalam hidupnya. Bisa makan tiga kali sehari, bisa menikmati fasilitas negara, ada pekerjaan, sudah cukup. Terlalu jauh yang selama kita pikirkan. Jadi kebutuhan konkrit saja yang dibutuhkan masyarakat,” tutur Bang Lutfhi berbagi pengalaman yang didapatkannya selama suksesi.

Maka, jika seorang anggota DPR bersungguh-sungguh menjalankan amanat tersebut, tuntutan masyarakat semacam itu tidaklah terlalu berat untuk dilakukan. Sebagai wakil rakyat, seorang anggota DPR cukup berunding dengan penguasa di daerah tentang program yang bisa dikembangkan untuk kepentingan masyarakat sembari mengawal kebijakan tersebut sampai di pemerintah pusat. musim

0 komentar: