Pilpres Harus Lebih Longgar Dari Pileg

Sebuah keputusan yang bijaksana jika pemilih yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) dapat memilih dengan hanya menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau kartu identitas lainnya. Hanya saja, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus mengantisifasi penggunaan KTP ganda dan menggunakan tinta yang tidak mudah dihapus.

Karena tidak dibatasi Daerah Pemilihan, maka pemilihan umum presiden harus lebih longgar dari pada pemilihan umum legislatif. Pemilih hendaknya dapat memberikan suara di mana saja dan dapat menggunakan kartu tanda penduduk (KTP) atau identitas lainnya.

Banyaknya masyarakat yang kehilangan hak pilihnya dalam pemilu legislatif 9 April lalu, menjadi pelajaran bagi penyelenggara pemilu. Sebab, selain menerima ‘cercaan’, KPU juga sempat dilaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Maka, agar peristiwa yang sama tidak terulang kembali pada pilpres 8 Juli mendatang, banyak kalangan menyarankan agar mempertimbangkan mekanisme lain untuk mengakomodir masyarakat yang tidak terdaftar dalam DPT pilpres nantinya. Salah satunya dengan memperbolehkan masyarakat memberikan suara dengan hanya menunjukkan KTP atau identitas lainnya.

Menurut Kordinator Nasional Jaringan Pemantau Pemilu untuk Rakyat (JPPR) Daniel Zuchron, inilah cara menyelamatkan hak pilih rakyat. KTP atau identitas lain seperti surat izin mengemudi (SIM), ijazah, kartu keluarga (KK) dapat menjadi pengganti surat panggilan memilih di tempat pemungutan suara (TPS).

“Selain KTP, semua identitas yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti SIM, ijazah, KK, dll, harus diakomodir menjadi alat bukti bahwa yang bersangkutan telah masuk usia memilih dan punya hak masuk DPT karena pemerintah terbukti belum siap merekap data kependudukan. KPU juga gagal melakukan pendataan pemilih karena data penduduk yang buruk,” katanya.

Dengan demikian pemerintah dan KPU dapat meminimalisir angka golput akibat tidak terdaftar dalam DPT mengingat angka golput pada pemilu legislatif sangat tinggi. Dan untuk mengontrol penggunaan kartu ganda, maka penanda yang shahih adalah tinta di jari. Hanya saja, menurut Daniel, harus ada peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) yang mengatur penggunaan KTP sebagi payung KPU.

Hal senada juga diungkapkan oleh pengamat politik UI Abdul Ghafur Sangaji. Ia menyebutkan bahwa penggunaan KTP dapat menyempurnakan kelemahan-kelemahan dalam penyusunan DPS maupun DPT pada pilpres mendatang. Tetapi menurut Sangaji, penggunaan KTP dapat menjadi masalah apabila KPU tidak mengantisipasi penggunaan KTP ganda. Oleh karena itu, perlu diperkuat dengan cara menggunakan tinta yang berkualitas tinggi agar tidak mudah dihapus dan pemilih tidak dapat memilih dua kali di TPS yang berbeda.

“Meskipun penyalahgunaan KTP sangat rentan, namun penggunaan KTP dalam pemberian suara pemilu sangat baik untuk mengakali kelemahan-kelemahan pada pilpres mendatang. Dan agar tidak menjadi masalah maka KPU harus mengawasi dengan ketat terutama antisipasi terhadap penggunaan KTP ganda. Sebagi penguat, KPU juga harus menggunakan tinta yang tidak mudah dihapus,” katanya saat dihubungi POLEMIK.

Semangat untuk menyelamatkan suara masyarakat akibat kelemahan KPU dalam mendata pemilih dalam pilpres mendatang direspon positif direktur Komite Pemilih Indonesia (TEPI) Jeiry Sumampow. Tetapi menurutnya, sebelum KPU membuat keputusan untuk membolehkan pemilih mendatangi TPS dengan menggunakan KTP, KPU harus juga mendata secara maksimal peserta pemilih.

“Keputusan KPU yang akan memperbolehkan peserta pemilih menggunakan KTP sangat baik. Hanya saja, sebelum KPU membuat keputusan tentang pembuatan KTP ini, mereka harus bekerja secara naksimal mendata peserta pemilih. Namun apabila KPU sudah menyatakan bahwa data pemilih belum selesai maka KPU dapat membuat keputusan tentang bolehnya pemilih menggunakan KTP sebagai alat untuk memilih pada pilpres mendatang,” kata mantan koornas JPPR ini.

Lebih jauh, salah seorang dosen di sebuah perguruan tinggi, Anida Devianty bahkan berharap kartu tanda mahasiswa (KTM) dapat dipergunakan oleh mahasiswa untuk memilih presiden dan wakil presiden. Hal ini mengingat potensi golput bagi mahasiswa sangat tinggi, mengingat mahasiswa yang tinggal di rumah kos yang seringkali lolos dari pendataan.

Hal yang sama juga dikatakan oleh ketua BEM STIE Adhy Niaga Bekasi, Abudin. KTM harusnya bisa digunakan sebagai alat pendaftaran karena KTM juga bagian dari identitas diri.

“Pendaftaran mahasiswa dari luar daerah yang ingin menggunakan hak pilihnya di daerah bisa bekrjasama dengan pergurun tinggi yang memiliki database lengkap mahasiswa,” katanya sembari mencontohkan bahwa di lua negeri, paspor bisa digunakan sebagai identitas diri saat pemilu legislatif.musim

0 komentar: